Kamis, 07 Juli 2016

ASAL USUL SUKU LAPE

                                           

suku lape adalah sebuah komunitas adat yang terletak disebuah kabupaten pemekaran dari kabupaten Ngada yaitu nagekeo tepatnya di kelurahan lape, suku lape berasal dari suku lio utara tepatnya di tiwu lewu. berdasarkan penelitian suku tertua di flores adalah suku lio.  Penelusuran sejarah mengatakan bahwa penduduk pertama di Pulau Flores adalah manusia Wajak, yang muncul sekitar empat puluh ribu tahun lalu. Setelah zaman Glasial sekitar empat ribu tahun yang lalu, Nusa Tenggara terpisah dari Asia daratan. Terjadilah imigran dari asia ke selatan. Kelompok imigran itu adalah Manusia Proto Malayid yang berasal dari Yunan dan Pedalaman Indo Cina. Mereka mendiami Flores bagian barat dan tengah. Secara fisik mereka itu memperlihatkan ciri-ciri Manusia Melanesoid, Negroid, Papua dan Australoid.

menurut Profesor Yosep Glinka ( Pakar Antropologi Ragawi ) yang  membuat studi tentang Manusia NTT, mengatakan :  ATA Lio di Flores Tengah merupakan penduduk tertua di Flores.
sedangkan suku lape keluar dari tiwu lewu (LIO UTARA) akibat banjir bandang melanda di sekitar pemukiman suku lape dan tempat yang dilanda banjir di genangi air dan akirnya jadi tiwu (Tiwu= Danau ) yang dinamai tiwu lewu, akibat banjir bandang ini semua orang yang ada di pemukiman itu mati terhanyut oleh arus air yang membentuk sebuah danau. Ada beberapa keluraga yang selamat dari tragedi banjir bandang yang melanda pemukiman yang kini sudah menjadi sebuah danau, mereka terdiri dari ke-7 woe (woe=suku) mereka keluar dari Tiwu Lewu.
eksodus suku lape dari tiwu lewu ke tanah terjanji yang sekarang ditempati oleh masyarakat adat Lape, ada tujuh (7) rumpun/suku yaitu : 
  1. Nakanawe kepala suku (kepala keluarga) Jo Pobo
  2. Roga Wawo Kepala suku Bay Wea
  3. Woerenge kepala suku Ha Noi
  4. Ko kepala suku Laga Tawa
  5. Naka Zale Wawo kepala suku Bu'u Tawa
  6. Naka Zale Au Kepala suku Ala Wula
  7. Roga Au kepala suku Ru Wona   
KETUA ADAT (FIDELIS PH LIBHA)

dari tiwu lewu ke-7 rumpun/suku ini berjalan mulai dari timur ke barat, mereka tidak menetap hanya satu (1) tempat tetapi berpindah-pindah tempat atau Nomaden. Dari pindah tempat ini mereka menemukan sebuah lokasi baru tampa penghuni yang dalam bahasa adat lape "KAJU WAJA AZE UNA" untuk mempertegas identitas dari suku ini, mendirikan sebuah ola waja (perkampungan adat) yang diberi nama OLA LAPE dengan pekikan bahasa adat ULU GURU EKO BATE. proses mendirikan kampung adat tidak semudah membalikan telapak tangan tetapi proses yang sangat panjang dengan mendirikan PEO (simbol pemersatu), suku Lape sudah mendirikan tujuh (7) Peo. 7 Peo itu adalah :
  1. lila ulu
  2. woi te'i
  3. wonga wea
  4. naga nua
  5. pango mau
  6. wonga wea
  7. supi lape        

WATU NABE PEO ( TEMPAT SIMBOL BUDAYA SUKU LAPE)

dari ke-tujuh suku ini mendirikan rumah adat (SAO WAJA dalam bahasa adat lape) dan ke-7 rumah adat itu adalah:

  1. Nakanawe rumah adat Naga Pago
  2. Roga Wawo Rumah Adat Jo Te'i
  3. Roga Au rumah adat Keli Giri
  4. Woerenge rumah adat Jo Wula
  5. Ko rumah adat Bata Deku
  6. Naka Zale Wawo rumah adat Guru Tawa
  7. Naka Zale Au rumah adat Bale Riwu
SAO WAJA (RUMAH ADAT) NAGA PAGO
dengan melewati beberapa proses ini, suku lape menguasai daerah atau tanah ulayat yang sangat luas di pantai utara pulau flores. tanah ulayat yang luas ini diakui oleh kedua suku yang berbatas dengan suku lape yaitu suku Toto dan suku Bare, perbatas tanah ulayat ini sesuai dengan pekikan bahasa adat ULU TANA LI, EKO KELA NGETA, DHIRI GELU GENA, SEPU MESI MEZE.
Wilayah yang didiami tersebut berada di Kabupaten Nagekeo bagian utara atau yang dikenal dengan nama dataran Mbay. Masyarakat adat Lape mendiami suatu wilayah yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Aesesa di Kabupaten Nagekeo Provinsi NTT. Masyarakat adat Lape terbentuk dari persekutuan tujuh “woe” atau suku. Persekutuan dari ketujuh suku tersebut mengidentifikasikan dirinya dengan nama Masyarakat Adat Lape.

Kata “Lape” yang digunakan itu berasal dari bahasa daerah yang bermakna berlapis-lapis keturunan. Masyarakat adat Lape mempunyai karakteristik yang khas sebagai bagian dari identitasnya. Karakteristik yang khas tersebut meliputi sejarah asal-usul, adat istiadat dan tradisi, pandangan atas dunia, bahasa, filsafat, sistem kemasyarakatan, simbol pemersatu, struktur kelembagaan adat serta wilayah ulayat. Wilayah ulayat dari masyarakat adat Lape tersebut berada di sebagian wilayah kecamatan Aesesa dan kecamatan Aesesa Selatan
Suku Lape dalam sejarah Nagekeo hampir tak pernah diperbincangkan. Bahkan banyak buku-buku sejarah tentang Nagekeo menyamakan begitu saja wilayah kedaulatan suku ini dengan kerajaan Nagekeo. Meski luput dari perhatian dan publikasi yang luas, ternyata hal itu tidak menenggelamkan begitu saja antusiasme orang Lape dalam mengungkapkan jati diri, baik dari sisi sejarah, orisinalitas kebudayaan maupun kesenian, serta kedaulatan wilayanya di masa lalu.


Sejauh ini belum ada penelitian serius tentang sejarah dan asal usul orang Lape di wilayah Nagekeo, Flores, NTT. Suku yang mendiami wilayah utara Nagekeo ini, di samping unik dari sisi bahasa, juga memiliki sejarah kebesaran peradabannya tersendiri. Wilayahnya sangat luas, Wilayah kedaualatan suku ini dimana sebelah timur berbatas dengan suku Toto dan barat dengan Suku Mbare utara dengan laut Flores dan selatan dengan sebuah bukit Amegelu. 
GUA RU'U (ACARA MEMANGIL HUJAN)
KORA TELO ZEA (SESAJIAN KEPADA LELUHUR)

Ketika tahun 1510, Portugis mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah flores, daerah ini sudah dikuasai orang Lape selama berabad-abad. Kedatangan Protugis dari Selatan Barat Laut tidak serta mereta menggeser peran sentral orang Lape di wilayah ini. Sekitar abad ke-12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Lape dibawa pimpinan Ebu RATO WEA  (moyang orang Lape dari suku Nakanawe )mengusir sejumlah orang GOA (Sebuah kerajaan terletak di makassar) yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu tidak seperti biasanya lewat pertumparan darah, tetapi buang tinja siapa yang paling wangi (tidak berbau) kedua kubu bersepakat ketemu lagi pada saat purnama berikutnya. akirnya waktu yang ditungguh tibah dan kesepakatan bertemu di sebuah tempat yang namanya Nage Lewa, Raja Goa beserta pengawalnya turun untuk menemui Ebu Rato Wea untuk bertarung buang tinja dan pemenangnya adalah Ebu Rato Wea. untuk mengenang ada pertarungan antara Lape dan Kerajaan Goa, raja Goa menggali sebuah sumur yg persisnya dekat pinggir jalan oki rate ata (sebelah timur dekat perbatasan tanah suku lape dan toto) sumur ini diberi nama mata ae Rato (sumur air Rato).

Terpinggirnya Suku Lape menjadi kian parah karena ketiadaan kaum terdidik dari kalangan Suku Lape yang mencapai bangku pendidikan tinggi. Bayangkan saja pada tahun 80-an hanya ada satu orang Lape yang berhasil menyandang gelar Sarjana. Tahun 90-an hanya berkisar sekitar lima hingga sepuluh orang sarjana. Perode 20-an hingga kini mulai bermunculan Sarjana-Sarjana orang Lape.
     

WATU NABE ( BATU SAKRAL)
WATU TAKA ( BATU YANG LETAK DI ATAS CADAS)

PERTEMPURAN SESO-NGESO VS POBO-RADA
Setelah mendiam berabad-abad datanglah Suku Keowoa yang mendiami wilayah Wolo Pau, keberadaan suku Keowoa tidak serta mereta menggeser peran sentral orang Lape di wilayah ini. terjadi pergolakan besar di mana Suku Keowea dibawa pimpinan POBO dan RADA menangkap SESO dan NGESO Leluhur Orang Lape dari suku NAKA ZALE AU yang hendak ingin menjadikan SESO dan NGESO sebagi budak dengan cara menjadikan tawanan. dalam tawanan POBO dan RADA, SESO dan NGESO berupaya untuk melepaskan diri, upaya itu cukup membawa hasil SESO dan NGESO berhasil kabur dari Keowoa dengan membawa serta terompet (wio dalam bahasa adat Lape) alat ini digunakan untuk kode peperangan atau pertemuan/siadang adat. Ke-esokan harinya suku lape yang dibawa komando (panglima perang) SESO dan NGESO melakukan pertempuran ke WOLO PAU tempat dimana suku Keowoa mendiami. Pertempuran itu berhasil mengusir  orang Keowoa dari WOLO PAU, POBO dan RADA mati di penggal oleh SESO dan NGESO.
Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat, SUKU DHAWE, wilayah kecil yang berada di sebelah kali Aesesa. ada juga yang tebunuh di GURU AGA yaitu DHEMA, sekarang masayarakat setempat sering menyebut RATE DHEMA.

PEPERANGAN WOLO DHAWE

Beberapa orang yang selamat dari pertempuran wolo pau (keo woa) kemudian mengadakan persekongkolan dengan suku Dhawe dan mengklaim wilayah Lape sebagai daerah kekuasaannya sehingga dengan mudah pula Dhawe menamakan wilayah ini dengan nama tanah ulayat Dhawe. Padahal secara de facto Dhawe hanya sekadar numpang tinggal di wilayah itu. Nafsu ekspansi Dhawe serta ulah orang Keowoa yang tidak berkenan di hadapan adat istiadat Nagekeo menyebabkan suku Lape mengusir suku ini. Serangan demi serangan suku Dhawe terhadap Lape di wilayah Lape membuat suku Dhawe semakin nekat ingin menguasai tanah ulayat Lape, tetapi tidak berhasil.

Tekanan demi tekanan dari suku Dhawe ahkirnya pertempuran besar antara suku Dhawe dan suku Lape terjadi, dimana suku dhawe menduduki di sebuah bukit yang berdekatan dengan Ola Lape, yg sekarang terkenal dengan nama wolo Dhawe. Masayarakat suku Lape tidak bisa berkebun bahkan mengambil air-pun susah. setiap kebun dan mata air di jaga oleh orang Dhawe hampir belasan bahkan puluhan tahun suku Dhawe menguasi separuh dari wilayah lape yaitu mulai dari seni sore sampai di wolo dhawe. Dan pada ahkirnya munculah sosok pemberani yang ada di LELE LAMA dari suku Nakanawe, kondisi yang cacat Lele Lama memohon petunjuk pada leluhur ke-7 suku Lape. Dengan pekikan bahasa adat " bheeee ebu kajo ine ame, ulu guru eko bate. zuna ngao oa one miu ebu kajo ine ame, ne ta Dhawe kasa kapa lou wua ese gege tana meze, ulu guru eko bate, miu ebu kajo mai pu'u wunga, ebu Jo Pobo, ebu Bay Wea, ebu Ha Noi, ebu Laga Tawa,ebu Bu'u Tawa, ebu Ala Wula, ebu Ru Wona. miu tuka tada tana watu ta nepe ebu na'a ana dhu kami zuna ma dia, to modo lange imu, ulu tana li, eko kela ngeta, dhiri gelu gena, sepu mesi meze. ngao oa pai one miu to'o noe bana sama ne ngao, mo ngao ngala wika ta dhawe", setelah melakukan pekikan adat Lele Lama berjalan dengan keterbatasan fisiknya yang cacat dengan merangkak untuk turun menuju wolo dhawe. sesampai di batu cadas Lele Lama duduk dan sambil berbicara, kalau air kencing saya ini dia bisa belah batu cadas ini dan sampai di bawa kali.........berarti saya bisa usir orang dhawe. Apa yang dibicarakan oleh LELE LAMA terbukti air kencing membela batu cadas dan ngalir sampai di kali, tempat dimana LELE LAMA duduk dan bekas air kencing itu masih ada sampai sekarang, mungkin ini sebagai bukti sejarah untuk mengenang peristiwa masa lalu, suku lape menamkan tempat ini dengan sebutan PARA LELE (Para = batu cadas). dalam pertempuran LELE LAMA dan suku dhawe dengan kekutan massa yang sangat tidak berimbang dimana LELE LAMA sorang diri menghadap suku dhawe yang ratusan orang kala itu, mungkin sangat tidak masuk akal sehat kita bagaima mungkin LELE LAMA seorang diri dan yang cacat pula bisa menghadap ratusan orang kala itu, tetapi itulah kebesaran leluhur ke-7 suku lape, kekutan mereka masuk dalam jiwa LELE LAMA yang dianggap cacat dan mungkin tidak dianggap oleh suku lape itu sendiri. pertempuran LELE LAMA tidak memakai alat seperti, tombak, parang ataupun busur dan panah. LELE LAMA hanya menggunakan batu api sebagai alat perang kala itu, LELE LAMA melihat di bawa kaki bukit mengelilingi wolo dhawe (wolo=bukit), ada tumbuh semak belukar yang sangat tinggi dan sudah mulai tua, dia atas bukit ada ratusan orang suku dhawe yang melakukan serangan tembakan bedil dan anak panah ke Ola Lape (Ola=kampung). LELE LAMA duduk sambil berupaya menyalakan api dari batu api, api-nya menyala atas setuju leluhur ke-7 suku lape, LELE LAMA mengucapkan dalam bahasa Lape "api ta papa geu, kau bana dheo geu, api ta papa kago gena kau bana papa gena, miu bana dheo dhiri wolo, miu papa sabu walo dhu one tempat ngao ta reho dia. ngaza ngao ngasi miu api lila, miu lila" (api yang bagian kiri, kamu jalan bagian kiri, api yang bagian kanan kamu jalan bagian kanan, kamu jalan di pinggir bukit ini dan ketemu di tempat yg saya duduk. kamu tunggu sampai saya printahkan api nyala, kamu baru nyala).

Atas restu leluhur ke-7 suku Lape apa yg dikatakan LELE LAMA,  api turuti printah LELE LAMA dan menyala melahapi semak belukar yg sudah menguning terjadi kebakaran yang sangat dahsat dan membakar ratusan orang suku dhawe. ada beberapa orang yang luput dari serangan api ini, mereka lari sampai di seni sore (nama sebuah bukit) dekat kali ae mau. sejak pertempuran itu suku dhawe merasa kapok untuk melakukan perlawanan dan ingin mengusai tanah ulayat lape, karena yang berperang bukan orang lape tetapi leluhrnya ke-7 suku lape. 
 
(Etu =Tinju adat) 
ETU (TINJU ADAT)

MASUKNYA KOLONIAL BELANDA

seiring bergesernya waktu dan zaman keberdaan suku lape semakin hari semakin terhimpit, beberapa tanah ulayat sudah mulai dikuasi oleh suku dahwe secara sepihak. dengan masuknya Belanda ke indonesia dan membentuk  sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional yang ada. Sebelumnya, masyarakat hidup berkelompok dalam “ulu eko”, “ili woe”, “boa ola”, yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Namun, demi dan oleh kepentingan kolonial penjajahan Belanda, dibentuklah struktur baru di atasnya, yaitu “zelfbesturende Lanschap” atau “ Landschap Bestuur” yang dipimpin oleh seorang “zelfbestuurder” atau raja yang diangkat oleh Belanda dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.  

Tahun 1912, dibentuklah 27 “Landschap Bestuur” di Flores, dan salah satunya adalah Landschap Bestuur Nage di bawah pimpinan Oga Ngole, berpusat di Boawae. Pada tanggal 18 April 1917, terjadi pertemuan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Raja Nage, Oga Ngole dan Raja Keo, Muwa Tunga di Boawae, untuk menggagas penggabungan swapraja Nage dan Keo. Gagasan ini tidak langsung terwujud, dan baru bisa terwujud setelah keduanya meninggal.

—Pada tanggal 26 Januari 1931, Pemerintah Kolonial Belanda melantik Joseph Juwa Dobe Ngole, menjadi Raja Nagekeo, sekaligus sebagai simbol penggabungan swapraja Nage dan Keo menjadi Swapraja Nagekeo. Raja Josef Juwa Dobe Ngole, wafat pada 25 Desember 1972.


Pada masa swapraja Nagekeo, Raja Josef Juwa Dobe Ngole mengundang semua toko adat (mosalaki ku ulu enga eko) dibawa teritorial Swapraja Nagekeo. dari dataran Bay ( sekarang lazim disebut Mbay) Raja Josef Juwa Dobe Ngole mengundang Suku lape untuk memegang Hamente Bay, berdasarkan pertimbangan Raja Josef Juwa Dobe Ngole Lape mempunyai Ulayat yang besar dari suku Dhawe dan Nataia, berdasarkan rujukan peta ulayat yg dibuat kolinial belanda tahun1916, tetapi ditolak oleh Utusan Dari suku Lape dengan beberapa pertimbangan suku lape tidak mau diperintah oleh raja Nagekeo (Pesuruh Raja).

berdasarkan alasan ini Raja Josef Juwa Dobe Ngole, memanggil utusan suku dhawe dan suku Nataia, kedua suku ini menerima tawaran dari Raja Josef Juwa Dobe Ngole. dan pada ahkirnya terbentuklah Swapraja Nagekeo terdiri dari 18 Hamente :
1) Boawae      5) Munde      9)  Lejo      13) Munde     17)  Sawu
2) Deru Rowa      6) Riti      10) Kelimado      14) Keo Tengah      18) Rendu
3) Raja      7) Tonggo      11) Maukeli      15) Pautola     
4) Dhawe      8) Wolowae      12) Ndora      16) Nataia.



ERA KEMARDEKAAN INDONESIA 

kemardekaan indonesia dari kolonial belanda Tepatnya terjadi pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945. NTT sebagai bagian Nusantara yang dijajah Belanda, bebas dari cengkraman kolonial. Akan tetapi, karena keinginan Belanda untuk tetap berkuasa di Nusantara termasuk NTT, maka mereka melakukan berbagai upaya untuk tetap ada di bumi Flobamor. Ketika negeri ini masih belum tegak berdiri, NTT menjadi bagian dari Provinsi Administratif dengan nama "propinsi Sunda kecil". Nama "Sunda kecil" kemudian diganti dengan nama "Nusa Tenggara", berdasarkan peraturan pemerintah No. 21 tahun 1950. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1957 berlaku UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan dengan UU No. 64 tahun 1958, sehingga "Propinsi Nusa Tenggara" dibagi menjadi tiga daerah Swantantra Tingkat 1, yaitu masing-masing Swantantra Tingkat 1 Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sejak 20 Desember 1958, pulau Flores, Sumba, Timor, dan pulau-pulau sekitarnya menjadi salah satu provinsi, dalam kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 1958 itu juga dibentuk daerah-daerah tingkat II yang merupakan bagian dari daerah-daerah tingkat I tersebut (UU 69/1958). "Daerah-daerah" tersebut di atas dibubarkan dan diubah statusnya menjadi Daerah tingkat II. "Daerah-daerah" itu sebelumnya merupakan daerah-daerah swapraja yang saat itu termasuk di dalam wilayah "Daerah-daerah" tersebut.

"Daerah Flores" yang dulu dibentuk dengan Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur (Stb 1945-143) terdiri dari:


1. Wilayah Daerah Swapraja Manggarai.
2. Wilayah Ngada, meliputi Daerah Swapraja: Ngada, Nagekeo, dan Riung.
3. Wilayah Daerah Swapraja Sikka.
4. Wilayah Ende, meliputi Daerah Swapraja: Ende dan Lio.
5. Wilayah Flores Timur, meliputi Daerah Swapraja: Larantuka dan Adonara.


Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT tanggal 28 Pebruari 1962, Nomor : Pem.66/1/2 tentang Pembentukan Kecamatan dalam Provinsi NTT, maka daerah Nagekeo dibagi atas 3 kecamatan yaitu : Kecamatan Nage Utara, Kecamatan Nage Tengah dan Kecamatan Keo.

Selanjutnya dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT tanggal 20 Mei 1963 Nomor Pem. 66/I/32 tentang Pemekaran Kecamatan Keo menjadi Kecamatan Mauponggo dan Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Nage Tengah menjadi Kecamatan Boawae dan Kecamatan Nage Utara menjadi Kecamatan Aesesa.



Dengan adanya UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa, kecamatan Aesesa membentuk beberapa Desa dan salah satunya Desa Lape. Desa Lape meliputi lima (5) anak kampung yaitu, Ola Lape, Ulu Wolo,Rate Ule, Roe dan Wolowea (kampung perbatasan administarsi desa olaia dan Lambo lewa, wolowea persis ditengah dua desa ini). 

Keberadaan desa sebagai bagian dari Indonesia telah menjadi perdebatan panjang dalam ketatanegaraan Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini. Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa pada era Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, tidak lagi mengakui penyebutan selain desa untuk menunjuk organisasi komunitas lokal berbasis adat di Indonesia.

Bagi masyarakat adat Lape, implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Dimana sebagian besar ulayat Lape berdiri/terbentuk sebuah Desa, Itu terjadi karena pemerintah daerah di luar Jawa dan Madura dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan masyarakat hukum yang tidak menggunakan kata desa. 

Kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa tidak menjiwai semangat para pendiri bangsa dan esensi Pasal 18 UUD 1945 terutama yang berkaitan dengan desa atau yang sejenis dengannya di Indonesia yang dikatakan sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Kesatuan masyarakat hukum adat tidak berhak lagi mengurus rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Hal tersebut telah menjadikan desa tidak lagi otonom sehingga kesatuan masyarakat hukum adat saat itu menjadi tidak lebih dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru. 

Kebijakan penyeragaman desa di Indonesia oleh pemerintah era Orde Baru—melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa—merupakan sebuah politik monokulturalisme diambil untuk semata-mata stabilitas dan integrasi sosial.

Politik monokulturalisme telah menghancurkan local cultural geniuses kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Padahal, struktur Mosalaki yang dimiliki beberapa masyarakat tertentu seperti sistem pemerintahan, Mosa Laki Ku Ulu Enga Eko, tidak hanya mengandung sistem pelayanan administrasi namun juga pelayanan adat, dan bahkan memiliki mekanisme resolusi jika terjadi konflik.

Hak Desa atas Tanah dan Hak Ulayat
 


Peregeseran dari pemahaman tanah ulayat adat dan tanah desa yang menjadi perdebatan panjang, Perlu diketahui, Tanah Ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan, hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat itu dikenal dengan Hak Ulayat. Sementara itu, Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan/atau untuk kepentingan sosial. 
Menurut Gunanegara dalam bukunya Hukum Pidana Agraria: Logika Hukum Pemberian Hak Atas Tanah dan Ancaman Hukum Pidana (hal.3), tanah-tanah milik adat terdiri dari Hak Masyarakat Adat dan Hak Adat Perorangan, yang mana Hak Masyarakat Adat itu terdiri dari:

1.    Hak ulayat
a.    Hak pertuanan
b.    Hak persekutuan
c.    beschikkingrechts
2.    Hak desa
a.    Tanah Milik Desa
b.    Tanah Kas Desa
c.    Tanah Bengkok
d.    Ambtveld

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, Hak Ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”
 
Objek hak ulayat ini adalah tanah dan juga perairan, seperti sungai dan perairan pantai laut, dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri, seperti pohon-pohon , buah-buahan, dan batang kayu, begitu juga dengan binatang-binatang liar yang hidup dilingkungan tanah ulayat tersebut, cici-ciri tanah ulayat tersebut ;
Hanya persekutuan hukum adat tersebut dan para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang terletak dalam lingkungan kekuasaan atau wilayah pertuanannya.
Selain masyarakat hukum adat didaerah tersebut boleh menggunakan tanah tersebut dengan izin kepala adat di daerah itu. Tanpa izin dari kepala/pemuka adat penggunaan tanah ulayat dianggap melanggar. Penggunaan tanah ulayat hanya diperuntukkan masyarakat hukum adat guna memenuhi keperluan kerabat. Jika selain itu, haruslah meminta izin dari pemuka adat. Tanah ulayat tidak dapat dipindah-pindahkan kepada pihak lain. Hak ulayat juga meliputi tanah yang sudah digarap, yang telah diliputi hak perorangan. Penggunan tanah adat selain masyarakat adat didaerah Lape biasanya harus membayar upeti kepada adat atas manfaat yang telah diambilnya.
 
Dengan demikian, Tanah Ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah Hak Milik apabila Tanah Ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Sebaliknya, Tanah Ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”.
 
Putu Oka Ngakan et.al dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan (hlm. 13) sebagai tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar.
 
Namun perbedaan istilah itu bukanlah perbedaan makna mendasar yang membedakan tanah ulayat tersebut secara substansial. Karena dalam hukum adat, khususnya hukum tanah adat terdapat kesamaan yang merupakan perwujudan klonsepsi dan asas-asas hukum yang sama. Walaupun sebutan dan lembaga-lembaga hukumnya berbeda karena perbedaan bahasa dan kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut.
 
Tanah ulayat ini bagi masyarakat hukum adat Lape adalah tanah kepunyaan bersama. Dan diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat.  Dan juga sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Lebih lanjut hak kepunyaan bersama atas tanah inilah yang dikenal dalam kepustakan dan akademik hukum adat dengan hak ulayat.
 
Menurut Djojodiegoeno, hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu clan/gens/stam, sebuah serikat desa-desa atau biasanya sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilyahnya. Kita juga dapat mengatakan hak ulayat ini semacam hak kekuasaan, hak menguasai bahakan menyerupai semacam kedaulatan suatu persekutuan hukum adat atas suatu wilyah tertentu.
 
Dapat kita ambil garis besarnya, bahwa hak ulayat merupakan serangkai wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat. Berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilyahnya. Dan merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
 
Berdasarkan hak ulayat ini warga masyarakt hukum adat bertanggung jawab terhadap perilaku penyelewengan dan pelanggaran yang terjadi pada tanah ulayat mereka
Orang luar dan bukan masyarakat adat, yang pada dasarnya tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menarik hasil dari tanah ulayat, yang bersangkutan kecuali dengan izin masyarakat hukum adat tersebut dengan menyerahkan upeti atau syarat lainnya, sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaan dari masyarakat hukum adat terhadap tanahnya.                                                                                                                                                      
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat). Hal itu telah termuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Konsep negara hukum tetap dipertahankan pada perubahan ketiga UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat). Rechtsstaat merupakan istilah yang diperkelanlakn Carl, J Friedrich dan Friedrich J. Stahl dalam meneyebut negara hukum. Sedangkan A. V. Dicey menyebut negara hukum sebagai the rule of law yang secara sederhana berarti keteraturan hukum. 
  
keberadaan dan eksistensi masyarakat hukum adat telah memiliki jaminan hukum internasional dan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Meskipun pada pemerintahan Orde Baru, ketentuan UUD1945 itu tidak digubris bila mengingat muatan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa yang justru mengebiri otonomi masyarakat hukum adat di Indonesia. 
 
Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B ayat (2) menyatakan bahwa (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjtnya, Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melengkapi dengan menyebutkan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sederet ketentuan itu sebenarnya dapat menjadi dasar bagi perlindungan dan pemajuan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat di Indeonsia. Melalui berbagai kebijakannya, pemerintah seyogianya memberikan otonomi kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagai pengejawantahan dianutnya paham rule of law dan constitutional democracy. Apalagi, selain itu merupakan hak sipil warga negara Indonesia, itu juga bagian dari hak asasi manusia.

Tanah Ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
 
Dalam mewujudkan sebuah undang-undang pertanahan nasional, Hukum adat tentang tanah dijadikan sebagai salah satu aspek Materiilnya. Hukum adat dimasukkan kedalam UUPA karena dilihat bahwasanya hukum adat dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istemewa dalam pembentukan hukum agraria nasional. Kita dapat melihat posisi hukum adat hak menguasai atas tanah diposisi setelah negara.
  1. Hak bangsa Indonesia atas tanah
  2. Hak menguasai dari negara atas tanah
  3. Hak ulayat masyarakat hukum adat
  4. Hak-hak perorangan, meliputi:
  • Hak-hak atas tanah
  • Wakaf tanah hak milik
  • Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
  •  Hak milik atas satuan rumah susun 

terkait hak tanah ulayat secara gamblang di jelaskan pada pasal 3 UUPA, yaitu :

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat –masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.

 

Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan

 
PEMEKARAN KABUPATEN NAGEKEO DARI KABUPATEN NGADA
Dengan adanya UU No. 2 tahun 2007 lahirlah Kabupaten NAGEKEO dengan mbay sebagai Ibu Kota, selasa tanggal 22 Mei tahun 2007 NAGEKEO diresmikan sebagi kabupaten baru oleh Penjabat Mendagri Widodo A. S. dan Drs. Elias Djo ditunjuk sebagai penjabat bupati.




hak masayrakat adat Lape
Hal paling sulit dari bangsa yang hidup dalam negara ‘predatoris’ adalah mengakui dan melindungi sumber kehidupan (hak ulayat) masyarakat adat. Rasionalitas mendominasi pemikiran pemerintah, akhirnya ekspansi pembangunan tak terkendali.
Itu kenapa perampasan hak ulayat kerap terjadi. Sebab perilaku predatoris itu akan terus terjadi jika pemerintah hanya melulu mengutamakan pembangunan.
Tulisan ini tidak sedang bermaksud menolak pembangunan, pun satu sisi saya anggap dalam negara modern tak bisa lepas dari pembangunan – jika kemudian negara ini mengklaim dirinya sebagai negara modern. Namun perlu kiranya pemerintah menjaga keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan hak ulayat yang sudah ada, bahkan sebelum negara ini hadir.
Maka dari itu, perkenankan ulasan ini menjawab pertanyaan yang melulu dilontarkan soal mengapa perlu mengakui hak masyarakat adat? Apa masyarakat adat butuh di akui??


OLA WAJA (KAMPUNG ADAT) LAPE


Ragam pertanyaan di atas perlu di jawab, sebab jika tidak, akan menyebabkan kesalahan berfikir yang terus menerus berulang menjadi sejarah, sehingga akhirnya melahirkan generasi-generasi predator sumber daya.
MASYARKAT ADAT DALAM PUSARAN NEGARA
Rasanya pembaca bisa merefleksikan bahwa negara hanya hadir mengatur dan mengontrol sumberdaya strategis. Legislator pun cenderung gagal memahami mana hak negara dan mana hak ulayat. Soal hak ulayat pun akhirnya harus tunduk dihadapan negara.
Sengketa perihal konflik perampasan terus terdengar, mengacu dengan rilis data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sekitar 450 konflik terjadi sepanjang tahun 2016. Mayoritas muncul dari sektor perkebunan sebanyak 163 konflik, properti 117 konflik, kehutanan 25 konflik dan pertambangan sekitar 21 konflik yang bersentuhan dengan hak ulayat masyarakat adat.
Potret perampasan itu salah satunya terlihat di Mentawai. Mereka hanya menguasai 15 persen tanah adat mereka sendiri, sekitar 85 persen dikuasai oleh perkebunan sawit. Pemerintah menyerahkan hampir seluruh kawasan hutan di wilayah Mentawai kepada badan hukum usaha dalam bentuk koperasi (IPK), PT HPH, dan perkebunan sejak tahun 1969, wilayah ini kemudian di eksploitasi sumber daya alamnya selama 40 tahun.
Penguasaan atas tanah dan hutan kian menyebabkan masyarakat adat di Mentawai terpisah dari uma dan tanahnya.
Di tengah keterbatasan dan tekanan, membuat mereka melawan guna merebut hak mereka yang dirampas. Tak pelak perlawanan merebut hak mereka sendiri berujung pada kriminalisasi bahkan kekerasan. Mereka terpaksa mengikuti proses hukum di pengadilan negara dan tidak jarang mereka akhirnya harus mendekam di penjara.
Masyarakat adat dikalahkan berkali-kali oleh sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan bagi pemilik modal. Mereka juga dikalahkan oleh sistem hukum yang tidak menghargai tradisi dan hukum adat mereka.
Sungguh ironi, sebab ekonomi dan hukum yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keadilan dengan memperlakukan semua orang sama, malah melanggengkan ketidakadilan terjadi.
Sistematis penyingkiran masyarakat adat dibuktikan melalui Inkuiri Nasional yang dilaksanakan oleh Komnas HAM pada tahun 2014 yang lalu. Dari berbagai kesaksian masyarakat adat yang diperdengarkan dalam inkuiri yang diselenggarakan di 7 region dan 1 kali di tingkat nasional itu menunjukkan bahwa melalui kebijakan, negara telah melakukan pengambil-alihan wilayah-wilayah adat untuk kemudian diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui mekanisme izin konsesi.
Bahkan dalam proses Inkuiri tersebut ditemukan fakta bahwa ada juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat tetapi tidak mendapatkan izin, dan ada pula yang izinnya telah lampau waktu.
Kesaksian masyarakat adat pada Inkuiri Nasional itu menunjukkan watak predatoris negara. Haus sumber daya demi melunasi hasrat ekonomi. Wajar prahara keterasingan dan penindasan melulu di derita oleh mereka, sebab negara tak pernah menghargai keberadaan hak asal-usul masyarakat adat.



ACARA SEO JAWA (MASUK RUMAH ) KANTOR BUPATI 
NAGEKEO

 Kenapa Harus Pengakuan dan Melindungi Masyarakat Adat

Integrasi teritorial masyarakat adat ke dalam Indonesia sebagai persyaratan pembentukan negara di tempuh melalui proses negosiasi, mereka merelakan wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia saat itu. Negara ini berhutang budi dengan masyarakat adat.
Alih-alih saat ini mereka dihadapkan oleh perampasan, kekerasan bahkan pelanggaran hak asasi manusia. Kehadiran negara, justru memberikan beban kepada kehidupan masyarakat adat.
Mereka bisa saja tidak mengakui negara, jika negara bersikap acuh dengan hak mereka. Sebab masyarakat adat secara historis sudah terbiasa hidup tanpa negara. Mereka punya sistem pemerintahan sendiri, pun mereka juga punya sumber daya komunal untuk menghidupi komunitas mereka.
Bahkan seharusnya komunitas masyarakat adat diposisikan sebagai kelompok masyarakat yang bersifat otonom terhadap negara. Sebab apa yang berkembang secara historis dalam hukum adat mereka, tidak ada hubungannya dengan negara.
Betapapun, suka atau tidak suka, logika perlindungan hak asal-usul harus dimulai dengan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat.
Tak perlu susah, sebab sebenarnya hal itu sudah tersampaikan gamblang pada UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) yang memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Namun yang menjadi masalah, peraturan dibawahnya justru mengeliminasi ketentuan undang-undang dasar khususnya soal pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Namun, alih-alih mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, kebanyakan undang-undang tersebut malah ‘merampas’ hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupan serta membatasi hak mereka. Sebab undang-undang yang saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat.
Nomenklatur yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi mandul akibat ketidakseriusan pemerintah mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Dampak dari kemandulan nomenklatur, hari ini sebanyak 133 komunitas masyarakat adat terancam tidak diakui oleh negara. Sebab administratif, membuat mereka menghadapi prahara ketidakjelasan.
Jika kemudian ini dibiarkan, maka boleh jadi hak-hak mereka juga secara otomatis tidak diakui dan dengan gampang di klaim oleh oknum-oknum predatoris. Itulah sebab akhirnya konflik perampasan dan perlawanan terjadi di mana-mana.





SAO WAJA (RUMAH ADAT) NAGA PAGO

WATU TAKA ( BATU YANG LETAK DI ATAS CADAS)

KETUA ADAT (FIDELIS PH LIBHA)

WATU NABE PEO ( TEMPAT SIMBOL BUDAYA SUKU LAPE)

ETU (TINJU ADAT)

KORA TELO ZEA (SESAJIAN KEPADA LELUHUR)

GUA RU'U (ACARA MEMANGIL HUJAN)



1 komentar:

  1. Sands Casino Atlantic City | Promotions, Games
    › gaming › sands-casino › gaming › sands-casino Play at Sands Casino 1xbet korean Atlantic City in Atlantic City, NJ. Sign up and play online casino games for septcasino real money in our online casino. 제왕카지노

    BalasHapus